Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Intan Fauzi menilai, sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-undang Pemilu masih relevan untuk diterapkan pada Pemilu 2024, dan solusi yang tepat untuk mencukupi keterwakilan 30 persen perempuan di legislatif.
Diketahui, Judicial review atau uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (Parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (Pileg).
“Sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu tersebut masih relevan untuk diterapkan pada pemilu 2024 yang akan datang. Oleh karena itu seyogyanya MK menolak judicial review tersebut,” kata Intan Fauzi.
Menurut Intan Fauzi, Sistem proporsional terbuka memenuhi prinsip demokrasi yang amat mendasar, yakni pengakuan kedaulatan rakyat maupun prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum).
“Dalam sistem proporsional terbuka, semua kader punya kesempatan yang sama untuk terpilih. Hal ini baik bagi Caleg perempuan,” ujar Intan Fauzi.
Berkaca pada Pemilu sistem proporsional tertutup, Intan Fauzi yang juga Ketua Umum Perempuan Amanat Nasional (PUAN) ini melanjutkan, Caleg perempuan seringkali di tempatkan di nomor urut buntut, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elit partai.
“UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, mewajibkan pengajuan daftar calon oleh partai politik pada setiap dapil harus memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan, dengan penempatan minimal 1 perempuan dari 3 nama calon legislatif,” terang Intwn Fauzi
Dewan dari Dapil Jawa Barat VI (Kota Depok-Kota Bekasi) ini menilai, sistem proporsional terbuka adalah solusi tepat untuk memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, tanpa menciderai hak masyarakat untuk menentukan wakil-wakilnya di parlemen.
“Menurut saya, Caleg yang takut pada sistem proporsional terbuka hanyalah pihak-pihak yang khawatir tak cukup sanggup menarik hati rakyat sebagai pemegang kedaulatan,” beber Intan Fauzi.
Alumni Universitas Indonesia ini pun mengaku optimis bahwa sistem proporsional terbuka murni, keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen niscaya terwujud.
“Dann kita boleh berbangga, karena hasil Pemilu merupakan pilihan rakyat, bukan semata pilihan partai,” tegas Intan Fauzi.
Dengan sistem proporsional terbuka, Intan Fauzi mengungkapkan, semua Caleg diberi panggung yang sama untuk berkompetisi. Sebab, tidak ada privilege bagi Caleg dan semua bisa bertarung bebas.
“Saya akui, sistem proporsional terbuka ini membantu para kader perempuan meraih kursi di DPR. Semua teman Caleg satu partai juga berkompetisi. Jadi, para caleg benar-benar berjuang menyakinkan masyarakat menjadi calon wakil rakyat yang potensial,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dewan yang concern terhadap UMKM dan pemberdayaan pemuda ini menilai, sistem proporsional terbuka murni sebagai sistem yang adil untuk perempuan, bahkan untuk semua Caleg.
Selain itu, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini dinilai Intan Fauzi sudah bagus. Sehingga tidak perlu diutak-atik lagi hanya untuk mengakomodir kepentingan individu Caleg.
“Intinya, jangan sampai terjadi kemunduran dalam sistem pemilu legislatif kita. Apalagi, sebelumnya kita juga sudah pernah menerapkan sistem proporsional tertutup,” ujarnya.
Dengan sistem proporsional terbuka, Intan Fauzi menambahkan, pemilih lebih mengenal calon legislatifnya, karena tiap Caleg, baik petahana maupun yang belum duduk di parlemen akan berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk berkontribusi secara baik bagi masyarakat dan terbuka.
Source: Indonesiadayly